1. Implementasi dan Tantangan Pembangunan Pertanian
Sejalan dengan
perubahan tatanan politik di Indonesia yang mengarah pada era domokratisasi serta
perubahan tatanan dunia yang mengarah pada globalisasi, maka pembangunan sektor
pertanian dimasa datang dihadapkan pada dua tantangan pokok sekaligus.
Tantangan pertama adalah tantangan internal yang berasal dari domestik, dimana
pembangunan pertanian tidak saja dituntut untuk mengatasi masalah-masalah yang
sudah ada, namun dihadapkan pula pada tuntutan demokratisasi yang terjadi di
Indonesia. Sedangkan tantangan kedua adalah tantangan eksternal, dimana
pembangunan sektor pertanian diharapkan mampu untuk mengatasi era globalisasi
dunia. Kedua tantangan internal dan eksternal tersebut sulit dihindari
dikarenakan merupakan kesepakatan nasional yang telah dirumuskan sebagai arah
kebijakan pembangunan nasional di Indonesia.
Menurut
Samsul Bahari (Kompas, 15 Maret 004), persoalan pangan tidak hanya terkait
dengan konsumsi dan produksi tetapi juga soal daya dukung sektor pertanian yang
komprehensif. Ada empat aspek yang menjadi pra-syarat melaksanakan pembangunan
pertanian: (1) akses terhadap kepemilikan tanah, (2) akses input dan proses
produksi, (3) akses terhadap informasi dan pasar, dan (4) akses terhadap
kebebasan.
Dari
ke-empat pra-syarat tersebut, nampaknya yang belum dilaksanakan secara
konsisten adalah membuka akses petani dalam kepemilikan tanah dan membuka ruang
kebebasan untuk berorganisasi dan menentukan pilihan sendiri dalam berproduksi.
Pemerintah hingga kini selalu menghindari kedua hal itu karena dianggap
mempunyai resiko tinggi. Kebijakan pemerintah lebih banyak difokuskan pada
produksi dan pasar.
Dengan
melihat potensi sumberdaya yang dimiliki Indonesia, Stighlitz (2004) memberikan
beberapa saran yang perlu diperhatikan ketika akan menyusun dan merumuskan
kebijakan pembangunan pertanian. Saran-saran tersebut dapat dirangkum sebagai
berikut:
(1) Usaha
pengembangan ekonomi lebih difokuskan pada sektor yang menghidupi mayoritas
penduduk yaitu penduduk di pedesaan yang berprofesi sebagai petani;
(2) Program
industrialisasi mestinya difokuskan pada aktivitas yang memiliki
keterkaitandengan kepentingan mayoritas;
(3) Pendidikan
menjadi pra-syarat utama pembangunan dan ini harus dapat dijangkau oleh
golongan mayoritas;
(4) Dalam
pembangunan Pertanian, prioritas bukan sekedar memproduksi komoditi, tapi
penciptaan nilai tambah (value added);
(5) Industrialisasi harus terkait dengan kepentingan petani
(6) Sebagian besar
hasil pertanian terutama perkebunan masih diolah di luar Indonesia, misalnya
karet, crude plam oil/CPO, kakao, dll. Hal ini sebenarnya sangat mendukung
industrialiasi, oleh karena itu sebaiknya produk bukan dijual sebagai. barang
mentah.
(7) Terkait dengan
efisiensi, program swastanisasi/privatisasi perlu persiapan, karena
liberalisasi yang terburu-buru akan sangat berbahaya
(8) Peran dan
intervensi pemerintah untuk memberi prioritas pada ”mayoritas” tetap
diperlukan, bukan sepenuhnya diserahkan pada “market mechanism” (invisible
hand)
(9) Perlu
keseimbangan antara kepentingan pasar dan capur tangan dan atau peran pemerintah.
Sumbangan
atau jasa sektor pertanian pada pembangunan ekonomi terletak dalam hal:
1. Menyediakan surplus pangan yg semakin besar kepada penduduk yang kian
meningkat
2. Meningkatkan akan permintaan barang produk industri dan dengan demikian
mendorong keharusan diperluasnya sektor sekunder dan tersier;
3. Menyediakan tambahan penghasilan devisa untuk impor barang-barang modal
bagi
pembangunan melalui ekspor hasil pertanian terus menerus;
4. Meningkatkan pendapatan desa untuk dimobilisasi Pemerintah;
5. Memperbaiki kesejahteraan rakyat
pedesaan.
2. Prioritas Pembangunan Pertanian Pemerintah
Sampai pada
kuartal pertama tahun 2010 ini, Pemerintah tekah menyelesaikan empat prioritas
penting, yaitu (1) penyusunan peraturan pemerintah tentang usaha pertanian
komersial, (2) pencanangan usaha pangan skala luas (food estate), (3) cetak
biru peningkatan nilai tambah dan daya saing industri pertanian berbasis
pedesaan, dan (4) cetak biru swasembada pangan berkelanjutan. Berikut ini penjelasan singkat tentang
prospek pencapaian dari keempat prioritas pemerintah tersebut.
Dua prioritas
pertama sebenarnya lebih bersifat administratif-birokratis sebagai acuan untuk
melaksanakan strategi “pengadaan lahan” di atas, yang telah dituangkan dalam
suatu Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2010 tentang Usaha Pertanian
Komersial yang merupakan penjabaran dari Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992
tentang Budidaya Pertanian. Masyarakat hanya berharap bahwa pelaksanaan dari PP
18/2010 itu tidak boleh terlalu gegabah mengabaikan agribisnis dan pertanian
skala kecil, apalagi jika sampai menggusur.
Dua prioritas
terakhir memang lebih banyak bersifat strategis dan akademis, sehingga
mensyaratkan kedalaman analisis dan akurasi data yang digunakan. Kesalahan atau
kealpaan memperhitungkan dua faktor penting tersebut, juga akan dapat
menghasilkan kinerja sektor pertanian yang tidak secerah yang diharapkan.
Peningkatan nilai tambah akan jauh lebih bermakna jika disesuaikan dengan
proses transformasi dari keunggulan komparatif menuju keunggulan kompetitif.
Nilai tambah akan bervisi perbaikan kesejahteraan pelaku dan perbaikan ekonomi
bangsa jika strategi yang disusun juga sejalan dengan perbaikan kapasitas
pelaku dan peningkatan skala usaha. Strategi baru ini pasti mensyaratkan
perbaikan penguasaan teknologi dan informasi pasar.
3. Strategi
Swasembada Pangan Berkelanjutan
Strategi swasembada
berkelanjutan bagi pangan strategis: beras, jagung, kedelai, gula, dan daging
telah mulai menjadi agenda diskusi publik yang menarik. Pencapaian Indonesia
dalam peningkatan produksi pangan strategis mungkin perlu diapresiasi,
sekalipun masih terdapat kontroversi statistik dan metode penghitungan.
Misalnya, angka resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa
produksi beras pada 2009 mencapai 62,6 juta ton gabah kering giling atau
meningkat 3,71 persen dari 60,3 juta ton produksi tahun 2008. Kecenderungan
yang terus meningkat ini tentu sangat diharapkan untuk mendukung pencapaian
swasembada berkelanjutan.
4. Penutup: Langkah ke Depan
Sebagai penutup,
pembangunan pertanian juga wajib meningkatkan produksi dan produktivitas
tanaman perkebunan dan perikanan yang juga mampu menghasilkan devisa dari
prioritas ekspor selama ini. Misalnya,
kelapa sawit Indonesia masih akan terus merajai pasar dunia, yang kini
memperoleh tantangan baru dalam visi keberlanjutan dan pelestarian lingkungan
hidup. Karet, kopi, kakao, dan lada Indonesia juga kan terus mampu menguasai
pasar dunia. Komoditas perikanan tangkap dan budidaya seperti ikan tuna,
cakalang, dan udang masih akan menjadi andalan ekspor dan perolehan devisa yang
dapat menggerakkan perekonomian.
Strategi utama yang
wajib dijalankan pada komoditas bernilai ekonomi tinggi tersebut adalah
bagaimana caranya agar petani dan nelayan (skala kecil) juga mampu menerima
manfaat ekonomis yang besar agar lebih bergairah dalam meningkatkan
produktivitas dan efisiensinya. Di sinilah strategi pemihakan dari pemerintah,
sektor swasta, dan masyarakat madani menjadi sangat mutlak dan tidak dapat
ditawar lagi.
Ke depan, strategi
peningkatan produktivitas dan efisiensi itu wajib dikemangkan melalui aplikasi teknologi
baru, yang dihasilkan melalui perjalanan panjang penelitian dan pengembangan (R
and D), serta penelitian untuk pengembangan (R for D). Dunia usaha dan sektor
swasta Indonesia secara umum perlu secara nyata melaksanakan kemitraaan
strategis dengan peguruan tinggi dan pusat-pusat penelitian pangan, yang
sebenarnya tersebut di segenap pelosok Indonesia. Hanya dengan R-and-D dan
R-for-D inilah, inovasi baru akan tercipta, sehingga daya saing Imdonesia akan
meningkat berlipat-lipat. Dunia usaha atau sektor swasta dapat pula untuk
menjadi aktor terdepan dalam mengembangkan diversifikasi pangan, terutama yang
berbasis pemanfaatan teknologi dan industri pangan. Diversifikasi pangan yang
berbasis kearifan dan budaya lokal akan sangat kompatibel dengan strategi
pemenuhan kebutuhan gizi yang seimbang sesuai dengan kondisi demografi
Indonesia yang plural heterogen. Dalam hal ini, langkah pengembangan teknologi
dan industri pangan disesuaikan dengan kandungan sumber daya, kelembagaan dan
budaya lokal.